Membedah “Vibe Coding”: Dari Konsep Ideal ke Realitas di Lapangan

Kalau kamu aktif di dunia teknologi, kemungkinan besar kamu pernah mendengar istilah “Vibe Coding”. Istilah ini dipopulerkan oleh seorang peneliti AI ternama, Andrej Karpathy, dan sejak itu menjadi buah bibir di mana-mana. Konsepnya terdengar seperti mimpi: kamu cukup “berbincang” dengan AI menggunakan bahasa biasa, dan voila, aplikasi impianmu jadi kenyataan.

Tapi, apa sebenarnya “vibe coding” itu? Apakah semudah itu? Nah, di sinilah letak kebingungannya. Ternyata, ada dua “aliran” besar dalam vibe coding, dan sebagai seorang developer, penting banget untuk tahu perbedaannya. Mari kita bedah satu per satu.

Visi Awal Karpathy: Ngoding Tanpa Melihat Kode

Bayangkan ini: kamu punya ide untuk proyek iseng di akhir pekan. Kamu buka chatbot AI, lalu mulai mendeskripsikan idemu. “Buatkan aku aplikasi yang bisa mendeteksi isi kulkas dan menyarankan menu makan siang,” katamu. AI pun mulai bekerja, menghasilkan baris demi baris kode.

Inilah visi asli dari Andrej Karpathy. Kuncinya adalah kamu sengaja tidak melihat atau menyentuh kode yang dihasilkan. Kamu hanya menjalankan aplikasinya, melihat hasilnya, dan kalau ada yang kurang pas, kamu tinggal bilang ke AI, “Coba ganti warnanya jadi biru,” atau “Tambahkan fitur untuk membagikan menu ke teman”. Karpathy sendiri menggambarkannya sebagai “sepenuhnya pasrah pada vibes dan lupakan saja kalau kode itu ada”.

Pendekatan ini sangat cocok untuk:

  • Proyek pribadi atau hobi: Aplikasi yang kamu buat untuk dirimu sendiri.
  • Prototipe cepat: Ketika kamu hanya ingin membuktikan sebuah ide tanpa peduli kodenya berantakan.
  • Non-programmer: Siapa saja yang punya ide tapi tidak bisa ngoding kini bisa membuat aplikasi sederhana.

Intinya, di “aliran” ini, kamu tidak perlu paham cara kerja kodenya. Yang penting, aplikasinya jalan sesuai keinginanmu.

Realitas di Dunia Kerja: Vibe Coding Sebagai “AI-Assisted Development”

Sekarang, mari kita kembali ke dunia nyata, di mana kamu bekerja sebagai software engineer. Di sini, konsep “lupakan saja kodenya” jelas tidak bisa diterapkan. Kamu tidak bisa bilang ke tech lead-mu, “Aplikasi ini error, tapi saya tidak tahu kenapa, karena AI yang buat kodenya.”

Di lingkungan profesional, “vibe coding” punya makna yang sama sekali berbeda. Ini lebih tentang AI sebagai asisten atau “pair programmer” super canggih. Kamu tetap memegang kendali penuh. AI membantumu mempercepat pekerjaan dengan :

  • Menuliskan kode-kode repetitif (boilerplate).
  • Memberikan saran implementasi fungsi.
  • Membantu proses refactoring dan debugging.

Dalam praktiknya, alur kerjanya seperti ini: kamu tetap merancang arsitektur, menulis prompt yang jelas ke AI untuk membuat sebuah fungsi, lalu kamu wajib me-review, menguji, dan memahami setiap baris kode yang dihasilkan AI sebelum digabungkan ke proyek utama. Kamu tetap bertanggung jawab penuh atas kualitas dan keamanan kode tersebut.

Perbedaan ini sangat fundamental. Kritikus seperti Andrew Ng bahkan kurang setuju dengan istilah “vibe coding” karena dianggap meremehkan disiplin yang dibutuhkan dalam rekayasa perangkat lunak profesional. Jadi, ketika seorang engineer di perusahaan besar bilang mereka melakukan “vibe coding”, yang mereka maksud adalah proses pengembangan yang terstruktur dengan bantuan AI, bukan sekadar “mengikuti vibes“.

Membedakan “Framework”: Alat vs. Aturan Main

Kebingungan sering muncul karena kata “framework” bisa berarti dua hal dalam konteks ini:

  1. Framework Alat (The “How”): Ini adalah software atau platform yang kamu gunakan untuk melakukan vibe coding. Contohnya seperti GitHub Copilot yang terintegrasi di VS Code, Cursor yang merupakan IDE berbasis AI, atau Replit untuk ngoding di browser. Ini adalah “mesin” yang mengubah idemu menjadi kode.
  2. Framework Metodologi (The “How-To”): Ini adalah seperangkat aturan, proses, dan praktik terbaik yang dirancang untuk memastikan penggunaan AI tetap aman dan terkendali. Misalnya, sebuah perusahaan mungkin punya aturan bahwa setiap kode dari AI harus lolos unit test dengan coverage 0% dan di-review oleh dua engineer senior. Ini adalah “buku panduan” agar proyekmu tidak hancur di kemudian hari.

Sebagai seorang junior engineer, penting untuk memahami bahwa menguasai alatnya saja tidak cukup. Kamu juga harus mengikuti aturan main yang berlaku di tim atau perusahaanmu.

Pada akhirnya, vibe coding bukanlah sihir. Ini adalah evolusi dari cara kita membangun perangkat lunak. Visi idealnya yang “tanpa kode” sangat menarik untuk proyek pribadi dan eksperimen. Namun, di dunia kerja, vibe coding adalah tentang bagaimana kita bisa berkolaborasi dengan AI secara bertanggung jawab untuk menjadi developer yang lebih cepat, lebih kreatif, dan lebih efisien, tanpa mengorbankan kualitas dan pemahaman fundamental kita sebagai seorang engineer.

Table of Contents

Related Posts